Memahami kejengkelan dan bahagia
Tulisan saya yang kesekian kalinya ini membahas tentang salah satu efek dari sifat manusia yaitu jengkel. Mengapa kali ini saya mengangkat tentang kejengkelan ini karena manusia tidak lepas dari sebuah emosi yang bertentangan dengan kebahagiaan ini, misalnya seseorang yang mempunyai barang, lalu dipinjam oleh teman dari seseorang tersebut lantas menjanji-janji kalau barang itu akan di kembalikan dalam tempo yang sudah di tentukan tapi tidak juga dikembalikan, maka seseorang pasti kan merasakan jengkel kesal dan amarah. Nah inilah bukti kalau manusia mempunyai salah satu emosi kejengkelan dalam dirinya,bahkan sebagian besar manusia membuat kejengkelannya itu menjadi gumpalan api yang siap diledak-ledakkan yaitu kemurkaan atau marah.
Apakah rasa jengkel itu bertentangan dengan kebahagiaan. Dengan kata lain, apakah orang yang sedang jengkel berarti mempunyai jarak dengan kebahagiaan, dimana semakin sering jengkel semakin mengulur jauh jaraknya dengan kebahagiaan ?
Sekaitan dengan pernyataan tersebut, kita sekarang berada pada situasi untuk melihat hubungan antara kebahagiaan dan kejengkelan. Pertanyaan paling konkrit dalam kehidupan sehari-hari, apakah orang yang mudah merasa jengkel itu akan di berkahi okeh kebahagiaan atau tidak ? namun, apakah memang ada hubungan antara kejengkelan dan kebahagiaan ? bukannya kedua-duanya adalah emosi dimana keberadaan satu tidak menentukan keberadaan lainnya ? dimana satu emosi bukan menjadi satu lawan dengan emosi lainnya ?
Pertanyaan terakhir di atas itu tidak tepat ? dalam kenyataannya, sedih merupakan lawan dari senang dan bahagia merupakan lawan dari penderitaan. Satu emosi itu tidak menetukan keberadaan bagi emosi yang lain. Bahkan sebaliknya, ketiadaan rasa senang merupakan ke-ada-an rasa sedih. Dengan kata lain, bila kesenangan hilang, yang muncul adalah kesedihan. Tetapi, kesenangan bukan menjadi sebab bagi munculnya kesedihan. Keberadaan sebab itu di luar kesenangan dan kesedihan itu sendiri. Misalnya, uang bias mebuat seseorang menjadi senang ayau sedih. Kebanyakan orang merasa senang memiliki uang,sebaliknya tidak sedikit pun seseorang akan menjadi sedih jika tidak memiliki uang. Bagi dirinya sendiri, tidak ada kesedihan yang menyebabkan kesedihan. Juga tidak ada kesedihan yang menyebabkan kesenangan. Juga, tidak ada kesenangan yang menyebabkan kesedihan. Juga, tidak ada kesenangan yang menyebabkan kesenangan.
Dengan demikian, kejengkelan tidak menetukan kebahagiaan, dalam arti bahwa adanya kejengkelan menjadi sebab dengan adanya kebahagiaan. Atau, ketiadaan rasa jengkel menjadi penyebab bagi keberadaan rasa bahagia. Di sini, kita harus mencari penyebab di luar rasa jengkel dan bahagia, di mana bias terjadi seseorang yang mudah jengkel sekaligus mendapatkan kebahagiaan.
Hal yang demikian itu benar manakala menilai kebahagiaan bukan dari sudut pandang kebahagiaan jiwa. Saya memiliki teman. Dia mudah jengkel. Hobinya sepak bola dan seorang mahasiswa yang belajar di salah satu perguruan tinggi di Makassar. Dia sangat lihai dan hebat dalam bermain bola, degan skil skil yang mengagumkan dan prestasi yang membanggakan. Tetapi dia bodoh, karena dia mempunyai watak preman. Dia tidak bias menggunakan akalnya, namun lebih banyak menggunakan fisiknya. Gajah pun demikian, binatang ini tidak pernah menggunakan akalnya, tetapi menggunakan kekuatan fisiknya. Tetapi karena seseorang bodoh, dia berpikir bahwa kekuatan fisiknya adalah senjata ampuh dan yang paling kuat. Saya mau mengatakan dari sudut pandang kesucian jiwa dan kemuliaan akhlak, kebodohan adalah kesengsaraan jiwa, bukan kebahagiaan jiwa. Dengan kata lain, orang bodoh sesungguhnya adalah orang yang jiwanya sengsara,jiwanya menderita,jiwanya sakit,dan jiwanya hanya tertudur pulas ketika pertumbuhan fisiknya terus tumbuh seiring perputaran bumi pada rotasinya. Jiwanya hanya bisa bermalas-malasan,dan tidak bahagia. Berilah makanan kepada jiwa-jiwa kita berupa ilmu dan pengetahuan yang berpiringkan sebuah aktifitas yang telah di berikan oleh Allah SWT tuhan yang maha esa yaitu BERPIKIR. Kelak jiwa kita akan bangun dan terus tumbuh melampaui pertumbuhan fisik materi kita. Jadi, ada dua jenis kebahagiaan kebahagiaan jiwa dan kebahagiaan materi.
“sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia di timpa kesusahan, ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. (QS.(70) Al-Ma’aarij : 19-21)
“hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi di ridhoi-Nya (QS.(89) Al-fajr : 27-28)