PENGATURAN HUKUM
INTERNASIONAL TENTANG
PERLINDUNGAN
RELAWAN KEMANUSIAAN
A.
Pengertian Relawan Kemanusiaan
Realitas
menunjukkan bahwa hampir di semua komunitas masyarakat, aktivitas
tolong-menolong
sudah sejak lama sering kita jumpai. Salah satu yang kita kenal
adalah “Gotong-royong”
yang dalam kerelawanan merupakan suatu bentuk tipikal
modal sosial
dalam kehidupan bermasyarakat.
Relawan adalah
seseorang atau sekelompok orang yang secara ikhlas karena
panggilan
nuraninya memberikan apa yang dimilikinya (pikiran, tenaga, waktu, harta,
dsb) kepada
masyarakat sebagai perwujudan tanggung jawab sosialnya tanpa
mengharapkan
pamrih baik berupa imbalan (upah), kedudukan, kekuasaan,
kepentingan
maupun karier.
Adapun kriteria
kerelawanan antara lain Memiliki kepedulian penuh keikhlasan
untuk
mem-perjuangkan nasib kaum miskin berbasis nilai-nilai kemanusiaan dan
prinsip
kemasyarakatan sebagai bentuk pengabdian dan perjuangan hidupnya.
Semua warga yang
secara ikhlas tanpa membeda-bedakan derajat, jenis kelamin
dan status
sosial bersedia mengabdikan dirinya tanpa meng-harapkan pamrih (baik
berupa imbalan
maupun karier) dapat menjadi relawan. Siapapun dapat menjadi
relawan, selama
memiliki semangat dan jiwa kerelawanan. Relawan tidak tergantung
dari asal
kelompok masyarakat maupun wilayah tertentu karena relawan tidak
memperjuangkan
kepentingan kelompok, agama, maupun wilayah tertentu.
Tim Relawan
untuk Kemanusiaan adalah organisasi massa yang berbasiskan pada
relawan di
Indonesia yang bekerja dalam gerakan kemanusiaan untuk kepentingan
masyarakat
korban kekerasan politik negara.
B. Kedudukan
Relawan Kemanusiaan
Salah
satu prinsip yang menjadi landasan utama hukum perang adalah pembagian
penduduk (warga
negara) negara yang sedang berperang atau yang sedang terlibat
dalam suatu
pertikaian bersenjata ( armed conflict) dalam dua kategori, yaitu kombat
dan pendudukan
sipil (civilans). Golongan kombat inilah yang secara aktif turut serta
dalam permusuhan
( hostilities). Prinsip membagi penduduk dalam dua golongan ini
lazim disebut distinction
principle.
Tulisan ini akan
membahas secara umum, mengenai distinctition principle ini.
Ketentuan –
ketentuan tersebut dalam tulisan ini tidak diberikan. Tulisan ini akan
ditutup dengan
suatu uraian singkat mengenai perkembangan pengaturan kombat.
Adanya prinsip
pembedaan ini perlu diadakan pertama untuk mengetahui siapa yang
dapat / boleh
dijadikan objek kekerasan dan siapa yang harus dilindungi. Dengan kata
lain, dengan
adanya prinsip pembedaan tersebut dapat diketahui siapa yang boleh
turut dalam
permusuhan sehingga dijadikan objek kekerasan ( dibunuh), dan siapa
yang harus
dilindungi karena tidak turut dalam permusuhan. Mengenai masalah ini
Manual of
Military Law dari Kerajaan Inggris yang dikutip Draper,
mengatakan
bahwa kedua
golongan itu, yaitu kombat dan non kombtaan, masing – masing
mempunyai privileges-duties-disabilities.
Selanjutnya dalam manual tersebut
dikatakan bahwa
seorang harus memilih di dalam golongan mana ia masuk, dan ia
tidak dibenarkan
menikmati privileges dua golongan sekaligus. Di dalam cetakan
tahun 1958, manual
tersebut menambahkan bahaw pembedaan antara kombat dan
non kombat
sekarang menjadi tidak jelas (blured). Pada masa itu yaitu dekade
terakhir abad
ke- 19 tidaklah sulit untuk menentukan siapa yang turut dalam
permusuhan dan
siapa golongan sipil, karena angkatan bersenjata atau kombat
memakai seragam
yang jelas berbeda dari pakaian penduduk sipil.
Hukum
Internasional juga membenarkan dilakukannya kegiatan kemanusiaan
oleh organisasi
humaniter yang tidak berpihak6. Yang dimaksud dengan organisasi
humaniter itu
ialah bahwa organisasi itu must be concerned with the condition of
man, considered
solely as human being, regardless of his value as a military,
political,
professional or other unit. Organisasi ini tidak
harus bersifat internasional7.
Di samping itu
hukum internasional juga membenarkan kegiatan organisasi –
organisasi
penolong korban perang, seperti misalnya organisasi keagamaan, Palang
Merah Nasional
dan perhimpunan penolong sukarela lain8
6 M. Bothe dkk.,
op.cit.,p. 304.
7 Pasal 9 KJ I, II, III
Tahun 1949; Pasal 10 KJ IV Tahun 1949.
Kegiatan yang
dapat
8 J.Pictet, IV,
1958,op.cit., p.96.
dilakukan oleh
organisasi itu sangat luas, karena empat konvensi itu sendiri
menetapkan bahwa
ketentuan – ketentuannya tidak dapat dibenarkan menjadi
penghalang
pelaksanaan tugas kemanusiaan organisasi tersebut, walaupun kegiatan
itu perlu
mendapatkan persetujuan dari pihak yang bersengketa9
1. Dipimpin oleh
seorang yang bertanggung jawab atas bawahannya;
.
Pada tahun 1899
di den Haag atas prakarsa Rusia dilangsungkan apa yang disebut
First Hague
Peace Confrence. Salah satu tujuan konvensi yang sudah
disetujui du
Brussels pada
tahun 1874. Ternyata bahwa konfrensi ini berhasil untuk menerima
konvensi
tersebut di atas beserta annex-nya. Konvensi 1899 ini kemudian direvisi
lagi
dalam Second
Peace Confrence, yang diadakan di den Haag pada tahun 1907.
Konvensi 1907
ini tidak jauh berbeda dari Konvensi 1899. Dapat ditambahkan bahwa
Second Peace
Confrence ini menghasilkan banyak konvensi, satu diantaranya
adalah
konvensi IV,
yang berjudul Convention respecting the laws and customs of war on
land. Konvensi
ini hanya terdiri dari sembilan artikel, tetapi dilampiri sebuah annex
yang berjudul Regulation
respecting the laws and customs of war on land, yang
terdiri dari 5
artikel. Annex ini lebih dikenal dengan sebutan Hague Regulations,
atau
disingkat HR.
Hukum, hak dan kewajiban
perang tidak hanya berlaku bagi tentara (Armies) saja,
tetapi juga bagi
milisi dan korps sukarela (volunteer corps) yang memenuhi syarat
berikut:
9 Pasal 26 KJ I Tahun
1949: Pasal 125 KJ III Tahun 1949. Pasal 63, 142 KJ IV Tahun 1949.
2. Mempunyai
tanda pengenal yang melekat, yang dapat dilihat dari jauh;
3. Membawa
senjata secara terbuka;
4. Melakukan
operasinya sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang.
Di dalam negara –
negara dimana milisi atau korps sukarela itu merupakan
(constiute)
tentara atau menjadi bagian daripadanya, mereka dimasukkan dalam
sebutan tentara
(army).
Berdasarkan hal –
hal yang tercantum dalam HR, golongan yang secara aktif
dapat turut
serta dalam permusuhan adalah :
1. Tentara (armies);
2. Milisi dan volunteer
corps ( apabila memenuhi persyaratan);
3. Levee en
masse ( dengan memenuhi persyaratan tertentu.
Prinsip
pembedaan atau distinction principle untuk pertama kali secara
konvensional
diatur dalam Hague Convention IV tahun 1907, atau lebih tepat dalam
Hague
Regulations yang menjadi annex dari Hage Convention tersebut.
Untuk mencegah
kekacauan, maka disarankan untuk menggunakan istilah
kombat dalam
arti luas bagi golongan penduduk yang secara aktif turut serta
dalam
permusuhan, dan dibedakan dari non kombat yang diidentikan dengan
penduduk sipil,
sedangkan kombat – kombat tersebut diberi nama ”kombat
dalam arti
sempit”.
Yang mempunyai
hak untuk melakukan permusuhan, selain angkatan
bersenjata
milisi dan korps sukarela, apabila mereka memnuhi persyaratan
tertentu, dan
pula ada yang sudah ditentukan.
C. Pengaturan
tentang Perlindungan Relawan Kemanusiaan
Hukum
Internasional dalam berbagai bentuknya khususnya yang berbentuk
perjanjian
internasional wajib menciptakan sebuah tata keseimbangan dalam
pergaulan
masyarakat Internasional. PBB sebagai sebuah organ yang mengayomi
masyarakat
Internasional sudah selayaknya melihat pada anggota non pemegang hak
veto. Dalam
dunia yang lebih seimbang, tampaknya tak perlu lagi ada veto dalam
tubuh PBB,
khususnya Dewan keamanan PBB. Veto adalah bentuk dari
ketidakadanya
pengakuan suara negara-negara mayoritas. Dukungan atas sebuah
resolusi Dewan
Keamanan PBB sangat bergantung pada Negara pemegang hak veto.
PBB dalam
sejarahnya dibentuk oleh negara pemenang Perang Dunia II, sebagai
negara pemenang
perang ia memiliki hak eksklusif berupa hak veto. Dalam
perjalanan
selanjutnya hukum internasional yang hendak dilaksanakan dengan
menjatuhkan
sanksi internasional seringkali gagal dilaksanakan karena munculnya
hak veto. Negara
lain yang tak memegang hak veto tak memiliki suara dalam tubuh
DK PBB. Inilah
sesunggunhnya awal dari ketiadaan ruang keadilan dalam PBB.
Sanki hukum tak
dapat dijatuhkan ketika muncul veto. Tak ada lagi adagium hukum
bahwa suara
tertinggi adalah hukum, semuanya tergantung pada lobi-lobi
internasional
yang mampu menggerakkan negara pemegang veto untuk berpihak
kepadanya.
Masyarakatpun
kemudian menyaksikan bagaimana dengan mudah sebuah negara
menyerang negara
lain dengan alasan penegakan hukum. Kekuatan politik
internasional
menjadi sangat kuat dalam penjatuhan sanksi internasional. Israel yang
secara nyata
dilindungi oleh Amerika Serikat dan Inggeris, berhadapan dengan Iran
yang mendapat
dukungan Rusia dan Cina. Ini semua berada dalam ruang-ruang
politik
internasional yang begitu kuat.
Kasus Marvi
Marvara yang telah menimbulkan korban jiwa memerlukan hukum
Internasional
untuk melindungi warga internasional. Amerika Serikat dan Inggeris
tentu akan
melindungi kepentingan Israel. Arah Hukum Internasional saat ini adalah
membentuk sebuah
tatanan yang lebih adil. Penciptaan ruang keadilan akan terbentuk
ketika tak ada
lagi hak veto. Solus populli suprema lex, suara terbanyak adalah
hukum tertinggi,
dalam tubuh PBB selayaknya dimunculkan dengan tak memandang
hak veto. Hukum
Internasional harus digerakkan oleh sebuah kekuatan masyarakat
Internasional
secara bersama-sama, tidak lagi dikendalikan oleh segelintir negara
pemegang veto.
Dalam kesempatan
ini, Indonesia mempunyai kekuatan secara Internasional
dengan mencoba
menggerakkan kekuatan internasional untuk menegakkkan hukum
internasional
melalui kerjasama dengan negara-negara Konferensi Asia Afrika, serta
Negara
Organisasi Konferensi Islam. Indonesia mampu berperan secara aktif
melakukan
lobi-lobi internasional untuk menciptakan sebuah kekuatan internasional
baru yang
mengedepankan perdamaian bukan kekerasan yang selama ini ada.
Perilaku yang
ditunjukkan oleh Israel dengan mengirimkan senjata untuk
menghadang misi
kemanusiaan sesungguhnya adalah bentuk nyata dari masyarakat
yang tak
beradab. Dalam konteks masyarakat beradab, sebuah bangsa akan
mengedepankan
upaya-upaya dialog dan bukannya kekerasan bersenjata. Dialog antar
masyarakat
sebagai warga internasional adalah bentuk pencerminan masyarakat yang
beradab. Dialog
untuk mencapai sebuah titik temu lebih mengedepankan logika
dibanding
kekerasan. Hukum Internasional muncul dalam proses-proses dialog antar
negara. Kasus
Marvi Marvara merupakan bentuk dan contoh nyata
dikesampingkannya
upaya dialog. Dialog sehingga menemukan sebuah titik temu dan
dituangkan dalam
sebuah perjanjian internasional adalah bentuk nyata keberadaan
sebuah
masyarakat internasional.
Hukum
Internasional sampai saat ini menjadi pilihan rasional, walaupun upya
menggerakkannya
membutuhkan lobi-lobi internasional. Hukum Internasional adalah
pilihan terbaik
dari beberapa pilihan yang ada. Ketika hukum internasional tak
berjalan, maka
pilihan lainnya adalah perang. Perang hanya akan merugikan
semuanya, ia
adalah bentuk dari keberingasan masyarakat yang tak beradab. Ketika
kita
mengedepankan perang maka yang terjadi hanyalah kepedihan umat manusia.
Ketika perang
adalah pilihan terakhir, maka pelaksanaan perangpun harus berada
dalam ruang atau
koridor hukum Internasional. Perang tidak boleh dilaksanakan
ketika dilandasi
oleh semangat untuk menguasai kekayaan. Perang hanya boleh
dilakukan
sebagai upaya paling akhir. Kasus Marvi Marvara sekali lagi menyadarkan
pada kita bahwa
ketidakadilan internasional secara nyata telah terjadi, dan
ketidakadilan
tersebut hanya tercipta ketika keseimbangan internasional tercapai
melalui
penghilangan veto dalam tubuh PBB. Harapan akhirnya adalah ketika veto
telah hilang,
maka hukum internasional yang lebih adil akan tercipta.
Indonesia memang
tak memiliki legal standing atau kedudukan hukum untuk
melaporkan
kejahatan HAM yang dilakukan oleh negara lain. Alasannya, Indonesia
sampai saat ini
belum meratifikasi Statuta Roma yang menjadi dasar pembentukan
ICC
(International Criminal Court). Pasal 15 Statuta Roma sangat memungkinkan
lembaga
non-pemerintah memberikan informasi kepada jaksa penuntut mengenai
tindak pidana di
bawah yurisdiksi Mahkamah Internasional.
Perikemanusiaan
sebagai suatu asas pokok hukum perang, dalam bentuknya
yang modern,
untuk pertama kalinya dirumuskan oleh Rousseau 10 . Dalam
merumuskan
pengertian perang, Rousseau11
10 Ibid., p.10.
11 Op.cit., p.22
menyatakan teori
pembatasan tentang
siapa yang
merupakan musuh dalam perang. Berpangkal pada pengertian perang
sebagai suatu
hubungan antarnegara diutarakan bahwa orang perorangan, pada
prinsipnya,
tidaklah merupakan musuh di dalam perang, baik selaku manusia maupun
selaku
warganegara negara yang berperang, kecuali bila ia adalah tentara. Dengan
menetapkan siapa
siapa yang merupakan musuh dan siapa yang bukan musuh,
Rousseau
menetapkan asas pembedaan antara penduduk sipil dan kombatan di dalam
perang.
Berdasarkan pembedaan itu kemudian dikembangkan pula pembatasan
sasaran perang,
yakni bahwa yang menjadi sasaran sah perbuatan perang hanyalah
angkatan
bersenjata musuh saja 12
Kapal yang
diserang oleh Israel tersebut juga mengangkut wartawan dari berbagai
belahan dunia,
padahal wartawan yang bertugas di wilayah pertikaian bersenjata,
berada di bawah
perlindungan Konvensi Jenewa 1949. Pasal 79 Protokol I
. Pembatasan
sasaran perang itu berarti
perlindungan
penduduk sipil dari serangan musuh. Dengan demikian tampak
pembedeaan
antara penduduk sipil dan kombatan merupakan dasar bagi perlindungan
penduduk sipil
di masa perang.
Relawan
kemanusiaan dalam perspektif Hukum Internasional tergolong
dalam golongan
non kombatan yang merupakan organisasi penolong lain selain
kegiatan
kepalangmerahan. Organisasi penolong yang lain ialah perhimpunan
penolong
nasional yang bukan Palang Merah yang kegiatannya bertujuan membantu
orang yang
dilindungi, khususnya penduduk sipil warganegaranya, yang ditahan atau
ditawan. Bantuan
yang diberikan itu termasuk bantuan spiritual. Bantuan yang dapat
diberikan kepada
tahanan dan tawanan perang di wilayah yang diduduki itu terinci
dalam tiga macam
kegiatan, yakni pemberian sumbangan kegiatan keagamaan dan
bantuan
memanfaatkan waktu senggang. Di samping itu Pasal 63 par. 2 KJ IV Tahun
1949 juga
melindungi organisasi khusus yang bersifat non – militer yang bertujuan
menolong
kehidupan penduduk sipil. Perhimpunan ini dalam PTKJ I Tahun 1977
dikembangkan
menjadi organisasi pertahanan sipil.
12 E. Rosenblad,
op.cit., p.54, mengutarakan bahwa pembatasan itu ditetapkan dalam Preambul
Deklarasi St.
Petersburg Tahun 1868.
Konperensi
tentang Pengesahan dan Perkembangan Hukum Humaniter Internasional
pada 1977
menyatakan bahwa wartawan yang sedang menjalankan tugas berbahaya
dianggap sebagai
orang sipil dan diberi perlindungan selama mereka tidak melakukan
tindakan yang
secara merugikan mempengaruhi status sipilnya.
Di dalam kapal
tersebut juga terdapat para aktivis perempuan dan petugas
kesehatan yang
mendapatkan perlindungan khusus menurut Konvensi Jenewa.
Perlakuan khusus
juga diberikan pada petugas kesehatan, baik sipil maupun
keagamaan, dan
terhadap transportasi peralatan dan persediaan obat-obatan.
Ditinjau dari
perspektif hukum Internasional, penyerangan Israel atas kapal
kemanusiaan
tersebut tidak dapat dibenarkan, bahkan jelas bertentangan dengan
hukum
Internasional dan Prinsip-Prinsip HAM dan Kemanusiaan. Pertama, serangan
dilakukan di
wilayah perairan internasional. Kedua kapal sedang membawa bantuan
dan mengangkut
warga sipil yang tidak bersenjata. Tidak ada satu pun konvensi
internasional
tidak melarang bantuan kemanusiaan semacam itu. Bahkan, Majelis
Umum PBB
menyatakan bahwa pemberian bantuan internasional kepada penduduk
sipil yang
berada dalam peperangan sesuai dengan Piagam PBB, DUHAM dan
instrumen hak
asasi manusia internasional lainnya.
Masyarakat
Internasional mengecam aksi brutal pasukan negara Zionis itu karena
berlangsung di
wilayah laut lepas (perairan internasional) dan bukan di wilayah
perairan Israel.
Dalam perspektif hukum Internasional, Filosofi mare libelum (free
sea) berlaku
bagi semua kawasan samudra/laut lepas. Bahwa menurut Konvensi PBB
tentang Hukum
Laut (United Nations Convention on The Law of The Sea/UNCLOS)
tahun 1982, laut
lepas tidak berada berada di bawah kedaulatan maupun yurisdiksi
negara manapun.
Di laut lepas, yang berlaku adalah kemerdekaan navigasi dan
pelayaran.
Setiap negara dapat menikmati kebebasan-kebebasan di laut lepas,
diantaranya
adalah kebebasan untuk berlayar. Kebebasan tersebut dilanjutkan dengan
dijamin menurut
Pasal 87 dari UNCLOS.
Pasal 6 dari
Konvensi jenewa tahun 1958 menegaskan bahwa kapal yang berlayar
dalam wilayah
laut lepas harus menunjukkan bendera negara kapal dan dengan
demikian
memiliki kewenangan eksklusif untuk memberlakukan hukum negara
bendera kapal
untuk wilayah di dalam kapal tersebut. Artinya, sebuah kapal yang
berbendera suatu
negara dianggap sebagai bagian wilayah territorial negara tersebut.
Wilayah
territorial ini akan berkaitan kedaulatan bagi negara tersebut, termasuk untuk
memberlakukan
hukum negara tersebut. Hal ini juga dijamin dalam Pasal 92
UNCLOS. Oleh
karena itu, penyerangan terhadap kapal Mavi Marmara yang
berbendera Turki
tidak dapat dibenarkan dan dapat tergolong sebagai pelanggaran
terhadap
kedaulatan Turki.
Hal ini juga
berkaitan dengan keamanan laut. Bahwa laut bisa dikendalikan dan
aman digunakan
oleh pengguna untuk bebas dari ancaman atau gangguan terhadap
aktifitas
pemanfaatan laut. Diantaranya adalah laut bebas dari ancaman kekerasan
secara
terorganisasi dengan kekuatan bersenjata ancaman tersebut dapat berupa,
pembajakan
perompakan, sabotase maupun aksi teror bersenjata. dan bebas dari dari
ancaman
pelanggaran hukum, baik hukum nasional maupun internasional.
Israel berdalih
bahwa penembakan yang dilakukan pasukan Komando Israel
terhadap para
penumpang Mavi Marmara adalah untuk membela diri. Logika
semacam itu
tentu saja tidak dapat diterima akal sehat karena berbagai video yang
beredar
jelas-jelas menunjukkan bahwa pasukan Israel lah yang menyerbu kapal
tersebut. Selain
itu, dengan latar belakang penumpang kapal seperti itu, masuk akal
tidak mereka
menyerang pasukan khusus Israel.
Penggunaan
senjata oleh Pasukan Israel dengan alasan untuk membela diri
haruslah sesuai
dengan prinsip dasar “Proporsionalitas” dan “Prinsip Diskriminasi”
sesuai dengan
hukum humaniter Internasional. Prinsip Proposionalis ditujukan agar
perang atau
penggunaan senjata tidak menimbulkan korban, kerusakan dan
penderitaan yang
berlebihan yang tidak berkaitan dengan tujuan-tujuan militer.
Artinya, apakah
langkah atau serangan tersebut sebanding dengan perlawanan yang
mereka terima
dan berkaitan dengan tujuan militer? Prinsip ini tentu harus dihormati
oleh Israel,
karena tercantum dalam pasal 35 ayat (2) Protokol Tambahan I.
Adapun prinsip
diskriminasi, adalah prinsip untuk membedakan sasaran militer
(combatants) dan
sipil (non-combatants). Bahwa terdapat larangan untuk menyerang
penduduk sipil
dan objek-objek sipil yang lain, bahkan jika target militer, serangan
terhadap obyek
tersebut tetap dilarang jika hal tersebut membuka kemungkinan untuk
melukai warga
sipil.
Perbuatan Israel
dengan menembaki warga Sipil yang tidak bersenjata adalah
sebuah kejahatan
kemanusiaan sesuai dengan pasal 7 Statuta Roma. Bahwa kejahatan
terhadap
kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian
dari serangan
yang meluas atas sistemik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut
ditujukan
terhadap penduduk sipil. Dalam perspektif Hukum HAM Internasional,
jenis kejahatan
terhadap kemanusiaan tersebut adalah bagian dari jenis
kejahatan-kejahatan
yang paling serius dan menjadi perhatian komunitas
Internasional
(pasal 5 Statuta Roma).
Penyerangan
terhadap warga sipil termasuk ke dalam jenis pelanggaran berat
menurut Protokol
I Konvensi Jenewa 1977. Dan termasuk ke dalam kejahatan
kemanusiaan
menurut Statuta Roma tahun 1998. Juga bertentangan dengan berbagai
instrument HAM
internasional seperti DUHAM (1948), Konvensi Eropa tentang Hak
Asasi Manusia
(1950) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
(1966) yang
menggariskan sebuah prinsip bahwa semua orang berhak menikmati hak
asasi manusia,
baik dalam keadaan damai maupun perang.
Resolusi Majelis
Umum 2444 juga menyetujui resolusi dari Konperensi Palang
Merah dan Bulan
Sabit Merah Internasional yang Ke-12 (Wina, 1965) yang
mencantumkan
tiga prinsip dasar tentang kegiatan dalam pertikaian bersenjata, salah
satunya adalah
dilarang melakukan penyerangan terhadap permukiman sipil, dan
harus selalu
dibedakan antara orang yang ikut serta dalam pertempuran dengan
penduduk sipil
sehingga sebanyak mungkin penduduk sipil tidak terlibat.
Majelis Umum
menegaskan bahwa tempat tinggal, tempat perlindungan, wilayah
rumah sakit
serta instalasi lain yang digunakan penduduk sipil tidak boleh dijadikan
sasaran operasi
militer. Penduduk sipil tidak boleh dijadikan korban akibat
pembalasan,
pemindahan secara paksa atau “serangan lain terhadap integritas
mereka.”
Berkaitan dengan pelanggaran HAM, pasal 5 Universal Declaration of
Human Right juga
menegaskan bahwa, no one shall be subjected to tourture or to
cruel, inhuman
or degrading treatment or punishment. Bahwa setiap orang
berhak
untuk bebas dari
perlakuan kejam dan perlakuan yang tidak manusiawi lainnya. Oleh
karena itu,
penyerangan terhadap Kapal tersebut adalah hal yang dilarang menurut
hukum Internasional.
Sumber
:
Konvensi
jenewa 1949
Konvensi
jenewa 1958 protocol 1
Konvensi
jenewa 1977 proocol 2
United
nation convention of the law on the sea
(UNCLOSE) 1982 pasal 87
Statuta
roma pasal 15